I wish it’s only a nightmare, and I would wake up by seeing her smile. Then, she would ask me to drink a cup of hot tea she used to make before I left home for work.
Minggu, 29 Maret 2015, Allah memanggil ibuku. Aku tidak pernah membayangkan akan ditinggalkan oleh beliau secepat ini. Ini adalah hal yang paling aku takutkan di dunia. Aku tau umi memang memiliki beberapa macam penyakit. Itulah mengapa Aku sangat khawatir setiap kali Aku menerima pesan singkat dari kakak-kakakku, ataupun telepon dari mereka. Aku takut suatu saat salah satu pesan ataupun panggilan dari mereka adalah berita duka ini, bahkan ketakutan itu selalu menghampiriku meskipun Aku tahu umi dalam keadaan sehat. Aku sering menyemangati diriku dengan meyakinkan bahwa teman-teman kerjaku masih memiliki ibu, padahal umur ibu mereka jauh di atas ibuku. Aku melihat nenek tetangga-tetanggaku yang masih sehat di usia senjanya, berarti umi pun akan memiliki umur yang panjang. Aku melihat anak-anak temanku diasuh oleh ibunya, Aku pun yakin umi akan melihat tumbuh kembang anak-anakku kelak. Namun, no one can avoid the death. Usia bukanlah syarat kematian, begitupun sehat. Aku menyadari hal itu, tapi aku selalu menguatkan diriku selama ini dengan hal demikian. Dan, pada akhirnya aku tetaplah salah.
Umi dirawat selama 14 hari. Semalam di Rs. Thamrin Cileungsi, kemudian 4 hari di Rs. Mary, dan hari – hari terakhirnya beliau habiskan di RSUD Ciawi. Umi selalu sadarkan diri. Beliau tidak pernah meninggalkan sholat meskipun terbaring lemah di ranjang. Beliau selalu minta ada yang mengaji di sampingnya. Aku yakin umi akan sembuh. Beliau memang beberapa kali harus menginap di rumah sakit sebelum ini, dan kembali sehat. Aku selalu yakin kali itupun umi akan pulang dan sehat kembali. Hari pertama di mana umi disarankan dirawat yaitu pada Minggu, 15 Maret 2015. Umi dan bapak menghadiri acara ta’lim di Tanjung Priok, dan Akupun sedang menghadiri pameran pendidikan UK di Jakarta. Umi pergi dalam keadaan tampak sehat. Di acara tersebut tiba-tiba kakinya bengkak. Dan beliau langsung memeriksakan kesehatannya kepada dokter Mer-C yang bertugas di sana. Umi disarankan memeriksakan dirinya ke rumah sakit karena didiagnosa memiliki pembengkakan jantung. Kakak perempuan pertamaku memberitahuku untuk membawa beliau ke rumah sakit. Akupun langsung pulang dan membawanya ke RS. Thamrin. Umi dirawat sampai akhirnya beliau ternyata mengidap diabetes. Padahal selama riwayat hidupnya, beliau tidak pernah diketahui memiliki diabetes. Beliau sering memeriksakan kadar gulanya setiap kali ke dokter dan selalu dalam keadaan normal. Setiap malam umi tidak pernah merasakan tidur yang nyenyak. Beliau selalu merintih dan mengeluh sakit. Tapi Aku tetap yakin beliau akan sembuh.
Sebelum umi meninggal, umi selalu bertanya kepadaku tentang pernikahan. Beliau selalu bertanya kapan Aku akan menikah. Beliau selalu berkata bahwa beliau ingin sekali melihat Aku menikah. Aku selalu bilang, nanti dulu. Aku masih memiliki banyak ambisi yang harus dicapai sebelum menikah. Aku masih ingin melanjutkan pendidikan ke Eropa. Aku selalu berambisi untuk mendapatkan yang terbaik dalam bidang pendidikan. Padahal waktu sibukku tidak sepanjang umur umi. Umi tidak pernah meninggalkan sholat dhuha, dan sholat malam. Beliau adalah orang yang sangat baik. Beliau sering sekali memberikan gamis dan jilbab kepada orang-orang yang beliau lihat selalu memakai pakaian yang sama beberapa kali. Beliau tidak pernah ketinggalan beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Pada saat lebaran, beliau mengundang anak-anak asrama yang tidak pulang kampung untuk makan bersama di rumah. Umi tidak pernah meninggalkan pengajian di hari Jumat selagi ia kuat untuk berjalan. Beberapa minggu sebelum umi meninggal, umi mengikuti kompetisi Al Quran dan Tajwid bersama teman-temannya di Taman Bunga Wiladatika. Beliau ingin sekali memenangkan kompetisi tersebut karena hadiahnya adalah Al Quran besar. Namun, umi hanya memenangkan juara dua dan mendapatkan buku, bukan Al Quran. Beliau setidaknya dapat mengkhatamkan Al Quran sekali dalam sebulan. Yaa Allah…. Aku rindu Umi…. 😦
Beliau selalu membelaku sesalah apapun Aku. Aku masih ingat sekali setiap kali Aku berantem dengan kakak-kakak dan adikku, umi selalu berusaha membaiki Aku. Aku adalah satu-satunya anak beliau yang selalu berkelahi dengan kakak dan adikku. Pernah suatu ketika, Aku melampiaskan kemarahanku karena iri dengan adikku yang sudah menikah dan memiliki anak. Dia diberikan perhatian lebih oleh semua orang karena baru melahirkan. Aku marah dan berteriak di depan semua kakak dan iparku. Ibuku menangis ketika itu. Aku tidak pernah makan di rumah. Tidak menegur semua orang di rumah. Aku bersikap sesuka hati. Tapi ibu dan semua saudaraku membaik-baikiku. Mereka semua berusaha menegurku. Namun Aku mendiami semuanya. Ketika Aku mandi, umi menyediakan sarapan di meja kamarku. Ketika Aku pulang kerja, selalu ada makanan di meja kamarku. Umi, maafin neng yaa.. bahkan Aku belum sempat meminta maaf beliau. 😦
Dua hari sebelum umi meninggal, Aku menghadiri annual meeting di Bandung. Sepulang dari sana, Aku berencana ke RSUD Ciawi. Namun, malam itu adalah malam Minggu. Sampai Jakarta sekitar pukul delapan malam. Aku khawatir arah menuju puncak mengalami kemacetan dan belum tentu taxi yang Aku tumpangi bersedia mengatarkanku ke sana. Belum lagi jam kunjung yang sudah habis. Aku memutuskan untuk pulang ke Cileungsi. Minggu di pagi hari, Aku menikmati jalan-jalan pagi bersama Mas Ary. Kemudian Aku mampir ke rumahnya untuk membawakan kunyit putih untuk umi karena aku berencana ke rumah sakit siang itu. Namun, ketakutanku selama ini datang. Aku menerima sms dan pesan singkat lainnya bahwa umi sudah tidak ada. Hancur sekali hatiku saat itu. Aku tidak menyangka itu akan terjadi. Sungguh. Ambisiku untuk semuanyapun hancur. Tidak ada lagi gairah untuk semua ambisiku. Apalagi melihat bapak yang sudah tua. Hidup sendiri. Aku diminta untuk menikah tahun ini agar bapak memiliki semangat hidup lagi. Mendengar kabar pernikahanku, bapak terlihat senang sekali. Entahlah. Aku senang ataupun sedih. Jika memang akhirnya Aku menikah di luar rencanaku, kenapa Aku tidak memutuskannya ketika umi masih ada. Beliau pasti akan menjadi wanita paling bahagia mendengar kabar ini. Umi, maafin neng… maaf…. 😦