Why Did You Leave Me, Umi?

I wish it’s only a nightmare, and I would wake up by seeing her smile. Then, she would ask me to drink a cup of hot tea she used to make before I left home for work.
Minggu, 29 Maret 2015, Allah memanggil ibuku. Aku tidak pernah membayangkan akan ditinggalkan oleh beliau secepat ini. Ini adalah hal yang paling aku takutkan di dunia. Aku tau umi memang memiliki beberapa macam penyakit. Itulah mengapa Aku sangat khawatir setiap kali Aku menerima pesan singkat dari kakak-kakakku, ataupun telepon dari mereka. Aku takut suatu saat salah satu pesan ataupun panggilan dari mereka adalah berita duka ini, bahkan ketakutan itu selalu menghampiriku meskipun Aku tahu umi dalam keadaan sehat. Aku sering menyemangati diriku dengan meyakinkan bahwa teman-teman kerjaku masih memiliki ibu, padahal umur ibu mereka jauh di atas ibuku. Aku melihat nenek tetangga-tetanggaku yang masih sehat di usia senjanya, berarti umi pun akan memiliki umur yang panjang. Aku melihat anak-anak temanku diasuh oleh ibunya, Aku pun yakin umi akan melihat tumbuh kembang anak-anakku kelak. Namun, no one can avoid the death. Usia bukanlah syarat kematian, begitupun sehat. Aku menyadari hal itu, tapi aku selalu menguatkan diriku selama ini dengan hal demikian. Dan, pada akhirnya aku tetaplah salah.

Umi dirawat selama 14 hari. Semalam di Rs. Thamrin Cileungsi, kemudian 4 hari di Rs. Mary, dan hari – hari terakhirnya beliau habiskan di RSUD Ciawi. Umi selalu sadarkan diri. Beliau tidak pernah meninggalkan sholat meskipun terbaring lemah di ranjang. Beliau selalu minta ada yang mengaji di sampingnya. Aku yakin umi akan sembuh. Beliau memang beberapa kali harus menginap di rumah sakit sebelum ini, dan kembali sehat. Aku selalu yakin kali itupun umi akan pulang dan sehat kembali. Hari pertama di mana umi disarankan dirawat yaitu pada Minggu, 15 Maret 2015. Umi dan bapak menghadiri acara ta’lim di Tanjung Priok, dan Akupun sedang menghadiri pameran pendidikan UK di Jakarta. Umi pergi dalam keadaan tampak sehat. Di acara tersebut tiba-tiba kakinya bengkak. Dan beliau langsung memeriksakan kesehatannya kepada dokter Mer-C yang bertugas di sana. Umi disarankan memeriksakan dirinya ke rumah sakit karena didiagnosa memiliki pembengkakan jantung. Kakak perempuan pertamaku memberitahuku untuk membawa beliau ke rumah sakit. Akupun langsung pulang dan membawanya ke RS. Thamrin. Umi dirawat sampai akhirnya beliau ternyata mengidap diabetes. Padahal selama riwayat hidupnya, beliau tidak pernah diketahui memiliki diabetes. Beliau sering memeriksakan kadar gulanya setiap kali ke dokter dan selalu dalam keadaan normal. Setiap malam umi tidak pernah merasakan tidur yang nyenyak. Beliau selalu merintih dan mengeluh sakit. Tapi Aku tetap yakin beliau akan sembuh.
Sebelum umi meninggal, umi selalu bertanya kepadaku tentang pernikahan. Beliau selalu bertanya kapan Aku akan menikah. Beliau selalu berkata bahwa beliau ingin sekali melihat Aku menikah. Aku selalu bilang, nanti dulu. Aku masih memiliki banyak ambisi yang harus dicapai sebelum menikah. Aku masih ingin melanjutkan pendidikan ke Eropa. Aku selalu berambisi untuk mendapatkan yang terbaik dalam bidang pendidikan. Padahal waktu sibukku tidak sepanjang umur umi. Umi tidak pernah meninggalkan sholat dhuha, dan sholat malam. Beliau adalah orang yang sangat baik. Beliau sering sekali memberikan gamis dan jilbab kepada orang-orang yang beliau lihat selalu memakai pakaian yang sama beberapa kali. Beliau tidak pernah ketinggalan beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Pada saat lebaran, beliau mengundang anak-anak asrama yang tidak pulang kampung untuk makan bersama di rumah. Umi tidak pernah meninggalkan pengajian di hari Jumat selagi ia kuat untuk berjalan. Beberapa minggu sebelum umi meninggal, umi mengikuti kompetisi Al Quran dan Tajwid bersama teman-temannya di Taman Bunga Wiladatika. Beliau ingin sekali memenangkan kompetisi tersebut karena hadiahnya adalah Al Quran besar. Namun, umi hanya memenangkan juara dua dan mendapatkan buku, bukan Al Quran. Beliau setidaknya dapat mengkhatamkan Al Quran sekali dalam sebulan. Yaa Allah…. Aku rindu Umi…. 😦
Beliau selalu membelaku sesalah apapun Aku. Aku masih ingat sekali setiap kali Aku berantem dengan kakak-kakak dan adikku, umi selalu berusaha membaiki Aku. Aku adalah satu-satunya anak beliau yang selalu berkelahi dengan kakak dan adikku. Pernah suatu ketika, Aku melampiaskan kemarahanku karena iri dengan adikku yang sudah menikah dan memiliki anak. Dia diberikan perhatian lebih oleh semua orang karena baru melahirkan. Aku marah dan berteriak di depan semua kakak dan iparku. Ibuku menangis ketika itu. Aku tidak pernah makan di rumah. Tidak menegur semua orang di rumah. Aku bersikap sesuka hati. Tapi ibu dan semua saudaraku membaik-baikiku. Mereka semua berusaha menegurku. Namun Aku mendiami semuanya. Ketika Aku mandi, umi menyediakan sarapan di meja kamarku. Ketika Aku pulang kerja, selalu ada makanan di meja kamarku. Umi, maafin neng yaa.. bahkan Aku belum sempat meminta maaf beliau. 😦
Dua hari sebelum umi meninggal, Aku menghadiri annual meeting di Bandung. Sepulang dari sana, Aku berencana ke RSUD Ciawi. Namun, malam itu adalah malam Minggu. Sampai Jakarta sekitar pukul delapan malam. Aku khawatir arah menuju puncak mengalami kemacetan dan belum tentu taxi yang Aku tumpangi bersedia mengatarkanku ke sana. Belum lagi jam kunjung yang sudah habis. Aku memutuskan untuk pulang ke Cileungsi. Minggu di pagi hari, Aku menikmati jalan-jalan pagi bersama Mas Ary. Kemudian Aku mampir ke rumahnya untuk membawakan kunyit putih untuk umi karena aku berencana ke rumah sakit siang itu. Namun, ketakutanku selama ini datang. Aku menerima sms dan pesan singkat lainnya bahwa umi sudah tidak ada. Hancur sekali hatiku saat itu. Aku tidak menyangka itu akan terjadi. Sungguh. Ambisiku untuk semuanyapun hancur. Tidak ada lagi gairah untuk semua ambisiku. Apalagi melihat bapak yang sudah tua. Hidup sendiri. Aku diminta untuk menikah tahun ini agar bapak memiliki semangat hidup lagi. Mendengar kabar pernikahanku, bapak terlihat senang sekali. Entahlah. Aku senang ataupun sedih. Jika memang akhirnya Aku menikah di luar rencanaku, kenapa Aku tidak memutuskannya ketika umi masih ada. Beliau pasti akan menjadi wanita paling bahagia mendengar kabar ini. Umi, maafin neng… maaf…. 😦

Spamming oh Spamming

Miris. Kata tersebut mewakilkan seluruh peristiwaku minggu lalu. Hidup sendiri di Jakarta, indekos, dan kuliah di waktu weekend benar-benar sudah merebut hariku. Walhasil yang bisa saya lakukan hanyalah killing time di kantor. Sesampainya di kost, tak banyak yang dapat saya lakukan, semuanya tidak jauh dari bercumbu dengan kasur dan bantal, ditemani sekeliling cucian, makanan ringan, make up, dan buku-buku yang nyaris tak pernah tertata rapi. Apalagi yang bisa dilakukan selain dengerin lagu, browsing hal-hal yang kurang bermanfaat dan spamming di social media. (emang dasar males yee). Yaa… sulit dipungkiri memang bahwa di zaman serba modern seperti sekarang ini, kebanyakan manusia sudah bergantung pada gadget. Sama halnya seperti saya, rasanya segala sesuatu lebih praktis dengan gadget dan sambungan internet, tapi ada sekelebat kisah di sini.

When phones continue to get smarter and thin,

people continue to get fatter and dumber.

Social-Media-Spam-300x200Baiklah, cerita ini juga sebenernya cuma spamming semata. Setelah Senin lalu berburu rezeki dari Cileungsi menuju Cilandak yang hampir tidak pernah melewati ketidak-macetan di ibukota Indonesia tercinta ini, walhasil jam 10 kurang saya baru sampai di kantor dengan pakaian sedikit lepek karena hujan deras mengguyur Jakarta pagi itu. Sampai kantor ada setumpuk desk study yang harus direview oleh auditor dan macam-macam tugas lainnya yang harus diselesaikan. Fiuuhhh…. Belum lagi grup di Whatsapp sudah berkicau sedari malam mengenai mid-term Phonology yang syukurnya sih take home karena asli dosennya jarang masuk. Hampir nangis Karena kesulitan mengerjakan UTS phonology tersebut yang the lecturer said that the answer sheet which wasn’t submitted on Monday evening wouldn’t be accepted. Yaa memang segala sesuatu sudah ada konsekwensinya sih, terlebih saya “memilih” bekerja sambil menuntut ilmu. Lecturing for working and working for lecturing. Okesip….

Dan malam sebelumnya saya made a deal with a blogger to translate 5 articles every day. Tentu agak kesulitan untuk bisa mencapai target. That’s why saya bekerjasama dengan beberapa teman kuliah. Then, we just finished 20 articles on Friday night. Ga apa2lah yaa namanya juga newbie. Nah sesampainya di kosan, disela-sela menjadi “autis” karena killing time dengan gadget satu2nya yang saya miliki di kamar kost, walhasil kegalauan mulai melanda. Dari liat status-status teman yang sudah “sukses”, mereka-mereka yang sudah berkeluarga, juga merasa terharu dan tertegun melihat perkembangan seorang gadis yang notabene adalah adik kelas saya dulu. Lalu saya berkaca, apa yang sudah saya dapatkan di dunia ini? Juga yang sudah saya persiapkan untuk bekal di akhirat kelak. #wah berat nih yee bawa-bawa akhirat. Hahah… Gadis ini berumur dua tahun di bawah saya. Dia adalah lulusan hafidzah Al quran dari Yaman kalau tidak salah. Gadis yang saat ini menjadi dosen untuk sekolah tahfidzul quran di Malaysia, pasti akan sangat membuat bangga orang tuanya. Akan banyak pria sholeh dan ahlul syurga – isnyaallah – yang mengantri. Subhanallah. Nah gue? Yang ada di otak gue cuma duniawi saja. Hiksszz…..

Dan seketika saya mulai kembali merasa tertekan, apakah harus tetap pada keputusan saat ini atau berbalik arah. Hhmmpphh…… terlebih ada pesan BBM masuk dari dosen yang sudah saya anggap seperti kakak perempuan saya. Beliau tiba-tiba mengirim chat yang isinya adalah “Ay, jangan sampe kamu berpikir untuk tidak menikah yaa…” wow banget ga sih? Yaa… saya memang sudah mengubur semua rencana pernikahan begini dan begitu yang sempat saya arsipkan di blog ini. Bukan karena saya dan calon pasangan saya putus atau apapunlah itu namanya. Kita masih baik-baiklah intinya mah. Dan si Miss Y. ini juga bertanya apa yang membuat saya tertarik dengan dia dan banyaklah pertanyaan-pertanyaan yang isinya adalah asmaraaaa.. hiiyaa….

Memang tidak ada kesamaan di antara kita. Hobby, pola pikir, sudut pandang, cita-cita, ambisi, sikap dan semuanya. We are really different, but we might be made for each other. Aamiinn….. saya juga cukup merasa beruntung dengan “curcol” saya dengan miss Y. malam itu. Ketika beliau bertanya mengenai keluarganya terhadap saya, saya tentu langsung berkata bahwa saya diperlakukan seperti tamu istimewa setiap kali menginjakkan kaki di rumahnya. And you know what she replied to me? Miss Y. said that she was really happy to hear that the complicated girl like me could be accepted in his family. Hahahaha…. yes, I admit that I am a complicated girl she might ever see.

Keesokan harinya, teman sekantor, seangkatan, sepantaran, minta tolong tuh buat bantuin bikin label undangan pernikahan dia dan suaminya pada 20 February ini. Hhmm…. Apalagi yang terjadi selanjutnya coba selain gue dibully di seantero kantor. Didoakeun mugi-mugi cepet nikah. Weleehhh weleehh…. Diaminin juga belom kepengen sih. Ga diaminin takut juga. Hahah….

Pas makan siang, saya dengan beberapa teman kantor lainnya memilih keluar kantor untuk mencicipi ikan bakar di kawasan Cilandak Mall. Di sana, semuanyaaaa adalah ibu rumah tangga dengan beberapa anak. Mereka kurang lebih berusia 32 hingga 40 tahun. Cuma saya dan Mba scheduler yang berusia 30 tahun yang belum berkeluarga. Mereka semua bercerita susahnya berumah tangga di bawah 5 tahun usia pernikahannya. Tahun pertama pasti akan kaget dengan sikap masing-masing yang beda banget. Belum lagi di tahun ke dua, ke tiga, dan keempat. Heuhheeuuhh…. Jadi mikir lagi apakah saya siap menikah atau tidak. Tentu siap donk, kan cita-cita anak lima. Hahahahha…..

Nah, inget lagi nih sama temen deket yang menikah di awal tahun 2014 lalu. Dia hampir setiap hari curhat tentang ketidakharmonisan rumah tangganya. Kalo kasus ini sih beda, apa yang bikin beda? Keadaan ini dia sendiri yang buat. Padahal pasangan dan keluarga pasangannya sayang banget sama dia. Belum lagi liat para pasangan muda nan alay yang bentar2 spamming di akun sosialnya tentang keluarganya. Lakinya ga pulang kantor, update status. Dibeliin pizza ma lakinya update status. Lakinya jauh-jauh pulang kantor buat makan siang masakan bininya diupdate juga di akun social. Weleeehhh weleehh… udah nikah jangan lebay ah.. kalo itu sih masih tidak terlalu miris memang. Nahh yang lebih miris adalah berantem di akun social. Alih alih update status bahwa suaminya tidak pantas dimaafkan karena sudah kesekian kalinya melakukan kesalahan, laaahh… apalaagi coba kalau tuh laki pasti ketauan main serong. Ga perlu lah yaa diupdate di akun social. Udah gitu nemu juga nih temen lama yang update gini “gua putusin juga tuh senar raket, kalo perlu sama gagangnya juga.” Ini pasti si suami rajin main badminton (asli ini emg gini kenyataannya, secara dia cerita langsung). Dan masih banyak lagi koleksi status alay dari para alayers di akun jejaring social mereka. Semoga saya tidak demikian nantinya. Eh ini termasuk ghibah ga sih? Kan ga mention nama. Berarti ngga kalii yaa.. semoga sih nggak. Heheh… yaa lo juga sama ajah kali. spamming di sini, ngomongin orang lagi. lah kan ga ada namanya. lagian ini akun, akun pribadi gue. yang nyasar ke sini juga jarang. kalopun ada. tuh orang lagi sial ajah kali yes… #apasih

Udah kali yaa spammingnya. Udah bingung apalagi yang mau di-spam. Heuheuuhh….

notittleneededijustwannawritewhatifeel

It is almost 8.00 pm on my computer. Today, I don’t know how I feel. After almost the three past weeks, I never had holiday due to some activities I had to do.
I feel empty and really tired.
I – sometimes – shed my tears for nothing. I don’t know what’s happening to me.

imagesAneh. Tidak seperti biasanya saya cengeng seperti ini. Saya selalu yakin dan percaya bahwa langkah yang saya ambil adalah benar. Egois memang, lagi dan lagi.
Akhir-akhir ini, setiap kali ada yang membicarakan tentang pernikahan, posting tentang keluarga kecil mereka di social media, melihat rencana-rencana pernikahan mereka, saya merasa iri, dengki, dan kecewa dengan diri saya sendiri.
Saya merasa bahwa saya gagal menjadi wanita seutuhnya. I am still really young I guess. Tapi saya juga perempuan biasa. Rasa ini tidak pernah hadir sebelumnya. Mungkinkah karena keangkuhan dan ambisi saya yang sudah menutupi semua ini? Entahlah. Yang saya tahu, apa yang saya putuskan adalah baik. Ambisiku mampu untuk memendam semuanya.
Semoga setiap langkah yang saya ambil selalu mendapat ridha-Nya. Aamiin…
Kadang, saya sering kali memikirkan apakah saya harus mengubur semuanya? Menjadi istri yang baik, memiliki anak, sekolah sewajarnya, tidak berkarir, menjadi ibu rumah tangga, hidup seperti kebanyakan perempuan lainnya. Ah, entahlah. Sepertinya keinginan tersebut selalu dikuasai oleh ego. Egoku dan ambisiku. Toh, Allah tidak pernah berfirman kan bahwa setiap perempuan yang memiliki cita-cita tinggi tidak akan mendapat jodoh? Jadi? Keep calm. Seize your day. Carpe diem quam minimum credula postero.

Every New Beginning Comes from Some Other Beginning Ends

Every new beginning comes from some other beginning ends…..

Heiii…. ada yang tau kalimat di atas potongan lirik dari lagu siapa? Hmm…. saya juga ga tau sih. Bahkan belum pernah denger. Yang jelas saya suka banget sama kalimat di atas, dan tahu lirik ini dari film Friends with Benefit yang diperankan oleh Justin Timberlake dan si belo Mila Kunis. Hehehe… Ok. I don’t want to tell you about the mentioned song lyric anyway. Ga tau kenapa yaa sekarang ini I am addicted to reading and searching a lot of information about studying in Finland. Mungkin karena keinginan yang sudah sangat-sangat ingin dicapai untuk sekolah di sana kaliii yaa. Hhfftt…. nah, suatu ketika, di sela-sela break makan siang, saya dengan beberapa teman kantor lainnya lagi lesmana alias males kemana-mana. Walhasil kita makan di ruangan. Sambil menikmati brunch yang emang pagi juga ga pernah sempet sarapan alias jarang banget, di situ ada temen yang nyeletuk “please do not be too ambitious to reach your dream! You have to realize that everyone has got based on their portion”. Mungkin karena selama makan, gw browsing all about studying in Finland. Ga ada yang salah sih dari kata-katanya. Malah buat saya itu emang benerrrr bangettt…. tapiii… kurang setuju dengan kalimat lanjutannya yang intinya dia bilang kalo selama ini saya kerja gini-gini ajah – ga ada perubahan – Cuma jadi admin – jabatan paling bawah suatu kantor – baru kali ini kerja yang lumayan banyak benefitnya – berarti yaa Cuma segitu porsi lu. Hhhmmm.. yang ini, asli ga setuju banget (ga konsisten yee, td bilang kurang setuju. Skrg ga setuju banget. Haha…). We will not know how many portion(s) we’d like to get unless we keep trying to get it, right? Itu sih versi saya yaaa sebenernya. Tapiii.. beneran deh, dari mana kita tahu porsi kita cuma segitu kan ya? Kalo orang mau sukses kan ga bisa langsung sukses juga. Yang dari lahir udah kaya raya ajah belum tentu bisa dimasukkan ke dalam kategori sukses. Itu sih versi saya juga.index

Nah loh, terus masih tetep egois – ga bisa nerima masukan orang lain? Ga juga sih. Ini beda kasus menurut saya. Kita memang tetap harus berkaca pada kemampuan kita, usaha kita sudah seberapa jauh, kesabaran kita sudah berapa besar, doa kita sudah seberapa sering. Tapiii…. tetap saja buat saya semua itu terletak pada the power of what you think.

Nah, terus kaitannya sama lagu di atas apa? Ga tau juga ada kaitannya apa ga. Emang suka ga jelas gitu deh eike. Hahah… ga sih, jadi gini; ketika kita memutuskan untuk mengambil hal lain dalam hidup kita (kesempatan or something better), tentu ada hal lain yang harus kita “korbankan”, kan? Misalnya, kenyamanan di tempat kerja sebelumnya yang sudah diciptakan sekian lama, kemudian ada kesempatan kerja di tempat lain yang lebih baik, kenapa tidak kita ambil kan? Toh kalo kita ga be brave to move from our comfort zone, kapan majunyaaa? Dan kesempatan atau sesuatu yang lebih baik itu tidak semata-mata datang dari langit dan nyasar ke kita. Semua sudah ada yang Mengatur. Yang Mengatur tentu sudah tahu apakah itu pantas buat kita atau tidak. Kepantasan kita itu tergantung dari DUIT kita alias Doa, Usaha, Ikhtiar dan Tawakal. Ketahuilah bahwa Allah berada bersama perasangka hamba-Nya. Kalo kita yakin rencana Allah baik buat kita, kemudian kita selalu mensyukuri apa yang kita dapat, bukan hal yang tidak pasti bahwa keinginan kita yang sudah kita rajut dalam DUIT itu akan dikabulkan. Itu sih masih versi saya juga. Tapi buat saya usaha keras tidak akan berkhianat. Note it! Jadiii intinya biar gimanapun pandangan orang, selama kita tidak mengganggu kehidupan dan tidak merepotkannya, anggap ajah itu motivasi buat kita. Nah, bisa jadi itu emang godaan-godaan untuk kita apakah kita bisa tetap maju atau menyerah begitu sajah. Nah, saya sih bukan tipe orang yang mudah menyerah jadi sok weh kalo ada yang mau menjatuhkan saya. Saya akan tetap bangkit bersama mimpi-mimpi besarku. Hehehe….

Satu lagi, jangan takut bermimpi. Setinggi apapun mimpi kita kalau kita memiliki usaha yang seimbang dengan keinginan kita, yakinlah bahwa Allah akan mengabulkannya dengan tiga cara; mengabulkan, menunda atau megganti yang lebih baik. So, nothing to lose. Yaa intinya lagi semoga catatan ini dapat mengingatkan kita semua terutama saya untuk tetap semangat mewujudkan mimpi-mimpi kita. Aamiinn……

With Allah, everything is possible.

Should We Celebrate?

No need to say Happy New Year. No need to celebrate a New Year. No need to pray at the end of the year. Allah will always listen what you pray – anytime.

Seperti biasa, orang-orang dari seluruh penjuru dunia seolah ingin menjadi saksi di malam pergantian tahun. Momen yang hanya dilewati 1 detik setiap tahunnya mampu membuat orang “habis-habisan” untuk turut serta di dalamnya. Salah siapa?

Sepertinya negri ini lupa akan musibah yang baru saja terjadi di penghujung tahun 2014. Sebuah kecelakaan yang terjadi pada pesawat Air Asia QZ 8501 dengan rute penerbangan Surabaya – Singapura di daerah Kalimantan telah meramaikan berbagai media (begitu kira-kira berita-berita yang muncul dan menjadi headline di beberapa situs online). Bahkan, berita ini saya rasa mampu mengalihkan para penikmat berita  mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak. Ah… #bukan urusan saya!

Malam tahun baru kemarin, saya memilih untuk tidak kemana-mana. Menurut saya sebagai seorang muslim kita tidak perlu mengikuti tradisi para non-muslim dalam merayakan tahun baru. Tidak perlu terompet, tidak perlu kembang api, tidak perlu petasan, apalagi pesta hura-hura dan mendatangi beberapa konser yang banyak disediakan oleh para promotor dunia hiburan.

Lantas saya menulis ini karena pergantian tahun ini saya tidak ikut serta? Bukan! Semasa hidup saya, saya belum pernah merayakan tahun baru. Saya pun tidak tahu bagaimana harus merayakannya. Setelah tahun kebebasan saya, sebut saja demikian, dimana saya sudah melepaskan seragam putih abu, beberapa kali saya keluar untuk berkumpul bersama teman di malam pergantian tahun. Namun, kami tidak pernah melewatinya dalam keadaan terjaga. Saya tentu lebih memilih tidur ketimbang melihat kembang api yang jelas-jelas mengganggu mereka yang tidak merayakan. Kemudian, saya pernah lebih memilih menghadiri acara pengajian yang diadakan oleh pesantren kami pada pergantian tahun 2013, 2 tahun yang lalu (aiiihhh… ceritanya anak sholehah). Hahaha…. 😀

Nah, baru pada malam pergantian tahun 2015 kemarinlah saya merasa kok ga ada pentingnya banget pergantian tahun harus dirayakan dengan menghamburkan banyak uang. Membeli kembang api, petasan dan terompet yang suaranya jelas akan mengganggu tetangga-tetangga di sekitarnya. Jadi, pada malam itu saya diajak bersilaturahmi ke rumah calon mertua. Kami sengaja ke sana untuk memberikan hadiah kepada adik dari pacar saya yang sudah jauh-jauh dipersiapkan. Di lingkungan rumahnya, beberapa tetangga berkumpul di depan rumah, membuat ala ala barbeque dan menyalakan petasan juga kembang api. Beberapa anak memainkan terompet. Termasuk adik dan bapak dari pacar saya ikut serta di dalamnya. Saya tentu memilih menyaksikan Stand by Me Doraemon di dalam rumah. Nothing special! Sesekali keluar untuk menghargai mereka yang “merayakan” tahun baru. Ketika itu, saya merenung. Mendengar detuman petasan yang kemudian menyemburkan percikan api ke arah langit, telinga mana yang tidak bising mendengarnya? Seketika membayangkan suara-suara itu seolah menertawakan langit yang gagah menggantungkan dirinya di atas tanpa melakukan perlawanan. Padahal ribuan bahkan jutaan orang menyerangnya malam itu. Miris. Saya berbisik kepada diri sendiri, apakah mereka ingat saudara-saudara kita di Palestina yang nyaris sepanjang hidupnya mendengar detuman-detuman yang nyata-nyata membuat mereka takut? Sedang yang lain tertawa menyaksikannya.

Ah, ini bukan soal agama. Perlu diakui memang, Negara kita yang katanya ramah, menjunjung erat tradisi, ternyata mudah sekali terprovokasi pihak luar. Rebut-ribut mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak, tapi mampu mengamburkan uang demi pesta yang sia-sia. Mengeluh dengan kemacetan, tapi menikmati kepadatan arus lalu lintas saat malam pergantian tahun. Salah siapa kalau sudah begini? Tidakkah mereka tahu bahwa di luar sana, ada yang senang menyaksikan orang-orang kita merayakan tahun baru? Usahanya berabad-abad untuk menghancurkan “kita” sudah hampir berhasil. Ketahuilah bahwa hal ini sudah disusun matang-matang oleh para “musuh” kita. Menghancurkan kita perlahan. Ghazwatul Fikr!

Tahun baru tidak perlu dirayakan! Resolusi memang penting. Kita bisa membuat resolusi kapanpun tanpa harus menunggu tahun berganti. Setidaknya, kita terus berusaha untuk menjadi lebih baik.

Kalau tragedi jatuhnya pesawat Air Asia belum mampu menyadarkan kita, setidaknya itu dapat menjadi bukti bahwa sang Maha Pemilik Jagat Raya ini dapat pula murka. Lalu masih patutkah kita menyerang langit-Nya dengan petasan dan kembang api?

Where Did Chayoogirl Come From?


It’s been almost entering the 6th year of my blog. Yaa… blog pribadi ini awalnya dibuat karena tugas semata pada pertengahan tahun 2009. Berhubung saya ga ngerti blogging waktu itu, walhasil isinya cuma berita-berita hasil copy paste baik dari Mbah Google atau retyped dari majalah. Hahah… (padahal sekarang juga ga ngerti blogging sih). Nah, dulu tuh ada minimal postingannya biar memenuhi syarat tugas mata kuliah Web dan Internet, jadi makin tidak memungkinkan buat nulis karya sendiri. Emang males sih sebenernya mah. Kayaknya kalo bawaannya tugas mah gampang juga jadi berasa berat ajah. Hahhahah… lagian kalo curhat-curhat gitu kan malu ajah sih yaa dibaca sama yang memberikan tugas. Cewe banget dah lagian pake curhat-curhatan.

Setelah tugasnya berakhir, blog ini jadi terbengkalai. Ga ada postingan apapun yang masuk di sini. Sayang juga kan yaa. Akhirnya saya coba memulai menulis apa yang ada di pikiran saya. Awal-awalnya sih gerogi dan bahasanya aneh gitu. Alur dari tulisannya juga ga jelas, kalo ada kata/ kalimat dalam bahasa Inggris ajah nih yaa pasti masih acak-acakkan. Yaa secara kan waktu itu belum mendalami bahasa. Sekarang? Sama sih masih belajar. Hehehe…

Chayoogirl

Where did the name Chayoogirl come? Nah ini nih, tiap kali buka blog ini dan diminta log in berasa aneh gitu dengan nama Chayoogirl. Kalo bisa diganti pasti langsung gue ganti dah. Tapi emang ga bisa yaa? Ga tau sih, nantilah yaa kita cari tau. Awalnya tuh si Bapak pemberi tugas mengintruksikan kita untuk buat blog gratis di WordPress.com, setelah mencoba dengan beberapa nama buat blog ini dan kurang beruntung karena nama-nama itu udah unavailable alias udah ada user yang pake, saya cobalah bikin chayoogirl. Dan jreng jrenggg….. bisa deh (yaa iyalah secara ga bakalan ada juga yang pake nama itu).hahha…. Sedih gitu kan. Udah daftar susah-susah gegara internetnya lemot dan email juga mubazir udah dipake, trus udah gitu dateline tugasnya juga udah mepet, yaudin deh dipake ajah si Chayoogirl itu. Waktu itu maksudnya sih gini, Chayoo itu berarti semangat. Eh iyaa gitu semangat? Yaa entah apalah itu yaa, yang jelas itu gegara demam nonton film Fullhouse Korea yang dibintangi si Rain dan Song Hye Kyo. Di film yang saya ga pernah bosen nonton itu, si Song Hye Kyo selalu bilang Chayoo (ga tau tulisan asli Koreanya gimana), kalo di subtitlenya sih artinya semangat. Hehehe…. Nah Girl nya yaa gue. Siapa lagi. Jadilah chayoogirl.wordpress.com lahir ke dunia.
Jadi harap maklum kalo postingan-postingan di sini nih tulisan dan gaya bahasanya berbeda-beda. Soale emang bukan saya yang nulis di postingan awal-awal. Untuk tulisan-tulisan lainnya pun memang aneh sih yaa. Maklum masih terperangkap dunia alay waktu itu. Hahaha…
Eh tapi emang bener deh, kayaknya ga banyak orang-orang yang tidak terperangkap dunia alay. Liat ajah semenjak si sosmed menjamur di mana-mana, manusia-manusia semakin alay. Hahah… cari temen gitu yaa.. tenang pemirsah, saya juga dulu gitu. Kalo liat-liat postingan-postingan di Pesbuk, Twitter, dan kawan-kawannya dulu, isinyaaa oh astagaaaaa…. Alaynya ga nahan deh. Rasanya mau dihapus ajah. Yaa entah itu status-status ga penting dan foto-foto yang masih monyong-monyong dan sok imut, padahal amit-amit yak. Hahah… Ajegileee… beneran malu banget kalo liat 4 – 5 tahun ke belakang. Tapiii beruntung juga sih alaynya udah jaman dulu, semoga sekarang ga yaa.. kalo masih, yaa maklum eike kan masih muda. Hihihihiii…. (ga inget umur amat yak?).
Nah, saya tuh pengennya si Chayoogirl ini umurnya lama dan tetap semangat nampung cerita-cerita saya yang isinya ga ada yang bermutu gitu. Yaa kali suatu saat bisa bermutu dan menginspirasi orang lain kan yaa. Mana kita tau kan yaa? Semoga sih. Apalagi anak sastra itu kan harus bisa nulis dan menyastra gitu. Hahaaa…. Ga padahal mah, Cuma lumayan kan kalo suatu saat blog ini bisa berguna untuk mengarsipkan cerita-cerita fiksi yang kagak lahir-lahir dari otak. Betah banget di otak dan susah keluar. Fffiiuuhhh….
Okesip. Udah malem banget ini teh. Markibo. Mari kita bobo…. Good night… jangan lupa baca doa. Hehehe… 🙂

Lelaki – Lelaki

Lelaki[1]Sebut saja Andri. Dialah lelaki pertama yang duduk di singgasana hatiku. Kepergiannya tidak membuat hati ku berpaling. Dia tidak pandai bermain kata, tidak pula romantis, apalagi tampan. Namun dia yang mengajariku mengenal siapa diriku sebenarnya. Dia pula yang membuatku membentengi hatiku dari lelaki lain. Kita memang tidak berjodoh, namun kita pernah seiya sekata. Toh, cinta tidak harus saling memiliki bukan? Kamu adalah kamu. Aku telah memaafkan semuanya. Kamu tak perlu lagi meminta maafku, juga tak perlu tahu tentang ini. Aku, kamu, kita, tetaplah seperti dulu. Menduga-duga perasaan masing-masing, menyaksikan kita bersama yang lain.

====

Keangkuhan dirimu yang membuatku berpaling. Benar, aku mengagumimu. Kau tak perlu bersikap demikian. Caramu mengagumiku pun terlihat berlebihan. Kau tahu? Aku melakukan ini untuk menyelamatkan hati kita masing-masing kala itu. Maaf, aku sempat tak mengindahkan panggilanmu ketika itu. Aku harus menghentikannya. Doaku untukmu, tetaplah menjadi lelaki kebanggaan orang tuamu. Lupakan keangkuhanmu. Bukankah ditinggalkan itu menyakitkan? Kau tak perlu mengulanginya lagi dan lagi. Aku tahu kamu lelah – kamu lemah. Teruntukmu, lelaki yang selalu dalam lindungan-Nya.

====

Ayahmu menyukaiku. Beliau selalu membanggakanku di depan keluargamu. Aku tahu kamupun demikian. Ingatkah ketika kau mengungkapkan isi hatimu padaku dalam buku harian yang sengaja ku tinggalkan di kamarmu? Itulah pertama aku mengakui perasaanku benar adanya untukmu. Mungkin aku sedikit berlebihan ketika aku terpaksa menangis di depan teman-temanku, menangisi kerinduanku pada keluargaku. Kau ingat? Ketika itu aku dan dua temanku tidur di rumahmu. Dari situlah ayahmu mulai menjauhkan kita. Yaa… langkah kita memang salah. Namun perlu kau tau, aku tidak pernah memintanya begitu. Berbahagialah kau dengan keluarga kecilmu saat ini. Aamiinn…

====

Aahh…. Kamu. Aku tahu perasaan ini memang diwarisi untukmu. Untuk setiap kata yang terucap, untuk setiap air mata yang mengalir, ketahuilah aku sudah memaafkan semuanya. Kau tak perlu malu dengan dirimu. Aku paham. Aku mengenalimu lebih dari yang kau tahu. Beginilah adanya kita. Tak perlu kau sesali. Bukankah ini adalah keputusanmu? Meninggalkanku demi perempuan-perempuan itu. Sudahlah sayang, lupakan semuanya. Teruslah berusaha mencari yang terbaik – menjadi yang terbaik. Pesanku, jangan kau sia-siakan wanita yang saat ini bersamamu. Oh ya, kau tak perlu takut denganku. Aku bahkan tak akan menagih janji-janjimu. Kau ingat janjimu untuk melamarku kala itu? Ah sudahlah. Kau pasti mengumbarnya juga dengan yang lain.

====

Lelaki terakhir. Yaa.. aku berharap kau memang jodohku. Maaf untuk selalu merepotkanmu. Aku selalu bersikap kekanak-kanakkan di depanmu. Entahlah, aku sulit mengendalikannya. Sayang, maafkan aku untuk tak bisa selalu menjaga hatiku. Aah… kamu tentu memaafkanku. Dulu pun kamu demikian. Aku harap cintamu bukan amanah orang tuamu. Mereka menitipkanku pada mu, karena yang mereka lihat kau begitu menyayangiku. Sulit dipercaya memang, bahkan tak ada satupun kesamaan kita. Ah sudahlah, aku lelah berpetualang. Semoga kelak kita benar berjodoh.

====

Maaf untuk kata yang tak pantas aku ucapkan. Aku yakin kau sudah memaafkanku. Kaupun mengiyakannya bukan? Sekarang aku akan lupakan semuanya. Toh aku juga tak yakin jika aku benar tertarik padamu, begitu pula dirimu padaku. Mungkin ini adalah rasa bersalahku saja. Semoga kita tetap bersilaturahmi seperti saat ini. 🙂

====

Aku. Tak banyak yang memahami diriku, bahkan diriku sendiri. Apalgi lelaki – lelaki itu. Aku adalah perempuan yang pandai menyembunyikan perasaanku. Sudahlah, kau tak perlu cari tahu tentangku, karena aku pun tak tahu pasti siapa diriku.

Aku “Benci” Hidup di Jalanan

1-Anak-Jalanan-545x250Aku benci memiliki ritme aktivitas yang mengharuskanku mngukur jalan setiap hari. Bagiku, kemacetan bukanlah kebencian terbesarku pada jalanan. Entahlah, Aku hanya benci menikmati perjalananku.
Aku benci melihat bapak tua yang mangasongkan barang dagangannya. Aku benci melihat anak- anak menumpangi bis-bis di terminal, mengamen atau bahkan menjadi kernet salah satu bus di terminal. Aku benci melihat ramainya penjaja makanan di lampu merah. Aku benci melihat supir-supir angkutan yang terpaksa “menggaji” penguasa terminal. Aku benci melihat penyapu jalanan. Aku benci mendengar anak-anak membagikan amplop ke setiap penumpang bis, lalu memainkan alat musiknya yang terbuat dari botol air berisikan pasir.

Tuhan, mengapa kau biarkan kemiskinan terus melanda negeriku?
Adakan anak-anak itu rindu bermain dan bersekolah?
Adakah bapak tua itu mengeluh menjajakkan kakinya?
Adakah anak-anak itu merengek kepada orangtuanya, berharap mereka dibelikan mainan, baju baru, atau bahkan, pernahkah mereka bermimpi untuk terlahir seperti anak lainnya? Bersekolah, memiliki teman seusianya, atau menghadapi masalah besar karena tidak bisa mengerjakan PR matematika. Pasti masalah mereka lebih besar dari itu.
Aku ingin mengeluarkan mereka dari kemiskinan itu, Tuhan. kelak, jika Tuhanku mengijinkan, akan aku bawa mereka menikmati indahnya mencari ilmu. Amiinn….. 🙂
Kemiskinan memang bukan takdir, ia adalah pilihan. Apakah mereka memilih untuk itu?
Sejatinya, kebodohanlah yang menjadi penyebabnya. Tidakkah mereka rindu mengukir simbol-simbol menjadi suatu kata, kemudian merantai menjadi kalimat? Rindu akan belajar mengeja dan berhitung. Apakah mereka sempat merasakannya?
Seolah terbiasa, kemudian membuang jauh asa – itukah yang ada dalam pikiran mereka? Mungkin baginya apalah daya keluh kesah mereka, toh jalanan adalah rumah kedua mereka.
Bangkitlah Indonesia-ku! Tidak ada kata terlambat untuk bercita-cita. Ketahuilah, bodoh adalah pangkal kemiskinan. Jika kau tidak ingin menikmati sulitnya belajar, maka telanlah pahitnya kebodohan.