Lelaki – Lelaki

Lelaki[1]Sebut saja Andri. Dialah lelaki pertama yang duduk di singgasana hatiku. Kepergiannya tidak membuat hati ku berpaling. Dia tidak pandai bermain kata, tidak pula romantis, apalagi tampan. Namun dia yang mengajariku mengenal siapa diriku sebenarnya. Dia pula yang membuatku membentengi hatiku dari lelaki lain. Kita memang tidak berjodoh, namun kita pernah seiya sekata. Toh, cinta tidak harus saling memiliki bukan? Kamu adalah kamu. Aku telah memaafkan semuanya. Kamu tak perlu lagi meminta maafku, juga tak perlu tahu tentang ini. Aku, kamu, kita, tetaplah seperti dulu. Menduga-duga perasaan masing-masing, menyaksikan kita bersama yang lain.

====

Keangkuhan dirimu yang membuatku berpaling. Benar, aku mengagumimu. Kau tak perlu bersikap demikian. Caramu mengagumiku pun terlihat berlebihan. Kau tahu? Aku melakukan ini untuk menyelamatkan hati kita masing-masing kala itu. Maaf, aku sempat tak mengindahkan panggilanmu ketika itu. Aku harus menghentikannya. Doaku untukmu, tetaplah menjadi lelaki kebanggaan orang tuamu. Lupakan keangkuhanmu. Bukankah ditinggalkan itu menyakitkan? Kau tak perlu mengulanginya lagi dan lagi. Aku tahu kamu lelah – kamu lemah. Teruntukmu, lelaki yang selalu dalam lindungan-Nya.

====

Ayahmu menyukaiku. Beliau selalu membanggakanku di depan keluargamu. Aku tahu kamupun demikian. Ingatkah ketika kau mengungkapkan isi hatimu padaku dalam buku harian yang sengaja ku tinggalkan di kamarmu? Itulah pertama aku mengakui perasaanku benar adanya untukmu. Mungkin aku sedikit berlebihan ketika aku terpaksa menangis di depan teman-temanku, menangisi kerinduanku pada keluargaku. Kau ingat? Ketika itu aku dan dua temanku tidur di rumahmu. Dari situlah ayahmu mulai menjauhkan kita. Yaa… langkah kita memang salah. Namun perlu kau tau, aku tidak pernah memintanya begitu. Berbahagialah kau dengan keluarga kecilmu saat ini. Aamiinn…

====

Aahh…. Kamu. Aku tahu perasaan ini memang diwarisi untukmu. Untuk setiap kata yang terucap, untuk setiap air mata yang mengalir, ketahuilah aku sudah memaafkan semuanya. Kau tak perlu malu dengan dirimu. Aku paham. Aku mengenalimu lebih dari yang kau tahu. Beginilah adanya kita. Tak perlu kau sesali. Bukankah ini adalah keputusanmu? Meninggalkanku demi perempuan-perempuan itu. Sudahlah sayang, lupakan semuanya. Teruslah berusaha mencari yang terbaik – menjadi yang terbaik. Pesanku, jangan kau sia-siakan wanita yang saat ini bersamamu. Oh ya, kau tak perlu takut denganku. Aku bahkan tak akan menagih janji-janjimu. Kau ingat janjimu untuk melamarku kala itu? Ah sudahlah. Kau pasti mengumbarnya juga dengan yang lain.

====

Lelaki terakhir. Yaa.. aku berharap kau memang jodohku. Maaf untuk selalu merepotkanmu. Aku selalu bersikap kekanak-kanakkan di depanmu. Entahlah, aku sulit mengendalikannya. Sayang, maafkan aku untuk tak bisa selalu menjaga hatiku. Aah… kamu tentu memaafkanku. Dulu pun kamu demikian. Aku harap cintamu bukan amanah orang tuamu. Mereka menitipkanku pada mu, karena yang mereka lihat kau begitu menyayangiku. Sulit dipercaya memang, bahkan tak ada satupun kesamaan kita. Ah sudahlah, aku lelah berpetualang. Semoga kelak kita benar berjodoh.

====

Maaf untuk kata yang tak pantas aku ucapkan. Aku yakin kau sudah memaafkanku. Kaupun mengiyakannya bukan? Sekarang aku akan lupakan semuanya. Toh aku juga tak yakin jika aku benar tertarik padamu, begitu pula dirimu padaku. Mungkin ini adalah rasa bersalahku saja. Semoga kita tetap bersilaturahmi seperti saat ini. 🙂

====

Aku. Tak banyak yang memahami diriku, bahkan diriku sendiri. Apalgi lelaki – lelaki itu. Aku adalah perempuan yang pandai menyembunyikan perasaanku. Sudahlah, kau tak perlu cari tahu tentangku, karena aku pun tak tahu pasti siapa diriku.